Monday, December 9, 2013

Pancasila Dirobek-robek wahabi dan Pedang Arab Saudi


Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) Said Aqil Siraj menyatakan sikap, yang terus terang amat menggembirakan bagi umat yang toleran dan cinta damai.

Walaupun Aqil Siraj tidak secara tegas menunjuk organisasi mana, namun Aqil Siraj telah secara jelas dan tegas menyatakan: "Bahwa Pancasila penting ditegakkan apalagi ini keputusan yang telah ditetapkan oleh pendiri bangsa yang mewakili seluruh elemen masyarakat, elemen agama dan elemen golongan, yang menurutnya Pancasila adalah dasar dan falsafah bernegara.". Beliau melanjutkan, "Dengan demikian tidak perlu ada aspirasi untuk mendirikan negara Islam, karena nilai-nilai dan aspirasi Islam telah diejawantahkan dalam Pancasila". Tribunnews, Jumat, 01 Jun 2012.

Ini adalah pernyataan yang jelas, walaupun tidak secara telanjang menginstruksikan pengusutan organisai preman beragama yang seringkali mencatut nama Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Tentu pernyataan Prof. DR. KH Aqil Siraj ini bukan keluar tanpa sebab musabab yang melatarinya. Sebab yang baru saja kita dengar, gerombolan preman mengatasnamakan Ahlu Sunah tengah merencanakan penyerangan Ponpes Darus Sholihin Pimpinan Habib Ali al-Habsyi, ulama sepuh berusia 75 tahun dan menetap sejak tahun 1964 di Jember, dan selama itu beliau berdakwah dan membina masyarakat Puger dengan faham Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Peristiwa itu dimulai pada tanggal 30 Mei 2012 ketika terdengar bisik-bisik dari beberapa oknum yang memprovokasi masyarakat supaya membakar Ponpes Darus Sholihin pada tanggal 7 Juni 2012 lalu. Seperti biasa, motif yang dibawakan adalah isu Sunnah dan Syiah. Padahal, Ponpes Darus Sholihin Puger Kulon Jember adalah menganut faham Sunni Syafii. Baca kronologi lengkapnya disini.

Tapi apa kira-kira yang membutakan begitu rupa mereka yang mengaku sebagai "ulama"? Adakah ini karena bisik-bisik berbisa satu dua "ulama" Albayyinat yang menjadi penasehat dan dan tokoh utamanya, seperti santer terdengar baru-baru ini, dan dalam beberapa tahun terakhir? Ataukah ini lebih karena Al-bayyinat sebenarnya sedang mencoba memainkan ‘kartu Saudi’, berharap aliran fulus Dinasti Saud di Arab Saudi yang kerap ‘membayar mahal’ mereka yang gemar menyesatkan mazhab Islam di luar mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia?

Lupa pula kah mereka kalau semua agama Samawi, mau itu Kristen atau Yahudi, punya banyak percabangan dan mazhab termasuk Islam? Jika Al-bayyinat mau pasang badan untuk Ahlussunah, mana kiranya di antara mazhab Kristen yang bakal dia pilih dan izinkah hidup di Indonesia dan mana mazhab Islam yang bakal dinyatakan haram dan bakal diberangus (oleh kelompok Al Bayyinat)?

Di berbagai blog abal-abal model TAKFIRI, seperti voa-islam.com, arrahmah.com, mukminun, suara-islam dan seperjuagannya di sana umat senantiasa disuguhi kue pertikaian mazhab dan agama. Dan itu malah semakin menguatkan kecurigaan umat sebangsa, bahwa banyak dari para penganut agama model TAKFIRI seperti mereka ternyata hanya terpesona oleh wajah belaka, tapi tidak terbuka mata hati dan telinganya. Apakah mereka dengan gegabah telah menganggap bumi Indonesia, milik kerajaan Saudi Arabia?

Maka kali ini semua harus bersepakat dengan Prof. DR. KH Aqil Siraj, untuk menegakkan Pancasila sebagai dasar negara. Satu Bangsa, Yes! Satu Agama, No! Satu Umat, Yes! Satu Aliran, No...! Lawan kamunitas Takfiri !!!!!.
Penjelasan di atas sama persis seperti yang saya alami hidup dalam komunitas pengajian Takfiri NII-DI TII PISWA alias Yayasan Perkumpulan Manunggal Bangsa alias owner Sekolah TK SD Al Ya’lu International Outlook School beberapa tahun silam. [Islam Times/on]


Hubungan Kesamaan Konsep Wahabi, NII / DI TII / PISWA Malang /Jamaah Islamiyah / JAT, Kejumudan berpikir Serta Perilaku Teror Permusuhan dan Perampasan kepada Ummat Islam

Coba kita simak berita di koran tanggal 29/06/2010 berikut:

Kebumen – Setelah tiba di tanah kelahiranya, di Dusun Duwet, Desa Kewayuhan, Kecamatan Jagoan, Kebumen, Jawa Tengah, Selasa(29/06/2010), jenazah Yuli Harsono tersangka teroris yang tertembak dalam penggerebekan Densus 88 di Klaten langsung disambut pekikan takbir oleh ratusan teman-temanya.
Jenazah tiba dari RS Polri Jakarta di Kebumen diangkut dengan menggunakan mobil ambulans dengan Nopol B 1024 TIX dikawal oleh ayah Yuli, Salimun Ashari dan adik ipar Yuli Ali Suhada’ bersama Muhammad Kurniawan dan Endro Sudarsono, pengacara dari Islamic Studi and Action Center (ISAC).
Begitu tiba di rumah duka, ratusan warga masyarakat desa sekitar dan ratusan warga yang hadir dari luar kota sejak pagi dini hari langsung membentangkan kain bertuliskan ‘Kuburan Para Mujahidin (Pahlawan Islam)’, ‘Selamat Datang Pahlawan Islam’, ‘As Syahid, Jihad Still Continue’.
Namun, saat prosesi perawatan jenazah di rumah duka, akses wartawan langsung dibatasi sedemikian rupa sehingga puluhan wartawan diatur untuk tidak diperbolehkan mengambil gambar dari dekat.
“Maaf Mas, ini permintaan keluarga. Wartawan dilarang mendekat,” tegas pengacara keluarga Yuli Harsono, Kurniawan kepada puluhan wartawan di depan rumah duka.
Usai pemberangkatan, beberapa wartawan diperbolehkan mendekat untuk mengambil gambar pemberangkatan jenasahnya menuju ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dusun Sodor, Desa Kewayuhan, Kecamatan Pejagoan, Kebumen yang merupakan dusun sebelah dari rumah duka.
Sepanjang perjalanan 1,5 kilometer ke TPU desa sebelah ratusan petugas kepolisian setempat melakukan penjagaan cukup ketat.
Pekikan takbir dan mati sahid mengiringi perjalanan pengantar jenazah dari rumah duka ke TPU para pelayat juga mengeluarkan kata-kata yang menyinggung institusi kepolisian.
“Polisi kafir”! tegas ratusan rekan-rekan Yuli Harsono yang rata-rata berpenampilan berjenggot dan memakai celana sebatas lutut atas itu.

Polisi & Keluarga Lega
Sementara itu, keluarga almarhum Briptu Iwan Nugroho salah satu polisi yang tewas dan diduga ditembak oleh Yuli Harsono mengaku bersyukur dengan terungkapnya identitas pembunuh Iwan.
Pernyataan itu disampaikan oleh Aiptu Wagiman, ayah almarhum Briptu Iwan yang dimintai konfirmasi wartawan di Mapolsek Ngombol, Desa Ngombol, Purworejo, Jawa Tengah.
Wagiman menyatakan sangat berterima kasih dengan semua pihak yang telah berupaya keras untuk menemukan pembunuh anaknya. “Saya lega pembunuh anak saya sudah diketemukan,”tegas Aiptu Wagiman.
“Saya masih tanda tanya besar apa motif di balik penembakan dan pembunuhan anak saya itu?” tegas Wagiman.
Sedangkan Kapolres Purworejo AKBP Agus Krisdiyanto saat dikonfirmasi detikcom melalui handphonenya mengaku bisa bernafas lega setelah kasus pembunuhan dua anak buahnya di Pos Polisi Kentengrejo beberapa waktu lalu sudah menemukan titik terang.
“Kami tentunya lega karena kasus yang menyita perhatian masyarakat luas itu akhirnya terungkap,”tegas Agus Krisdiyanto
Seperti diberitakan detikcom dengan judul 2 Anggota “Polres Purworejo Tewas Tertembak”, Sabtu 10 April 2010, Briptu Iwan Eko Nugroho bersama Brika Wagino ditembak di Pos Polisi Kentengrejo, Kecamatan Purwodadi, Purworejo.
Sebelumnya pada Senin 15 Maret 2010, juga meberitakan bahwa Briptu Yona Ditemukan Tewas di Mapolsek Prembun, Kebumen, Jawa Tengah dengan luka tembak.


Benih-benih NII - Jihad Islam seperti Yuli Harsono yang dari Kebumen inilah yang masih melekat kuat di alam pemikiran konseptor Negara Islam pimpinan Sukirman alias Abang alias Asbirin Maulana (Purwakarta) -owner TK SD Alyaklu, sekaligus owner Rumah Makan Ulu Juku Makasar dan RM Angkasa Nikmat, Depot Darisa Palu, serta tangan kanannya bernama Drs. Sukirman, MT, pegawai VEDC Malang (asal Kebumen), Drs. Langgeng, MT pegawai Instalasi Bangunan VEDC Malang (asal Nganjuk), Wiyanto (asal Ponorogo) -admin web AsosiasiDuniaMaya.blogspot.com, Endang Supadminingsih (asal Magetan, istri Wiyanto), Isnada Waris Tasrim (asal Palu Sulteng, istri Asbirin Maulana), Fahmi (asal Cirebon) dan para pengikut Jamaah Al Yaklu Arjosari Malang- RM. Ulu Juku Makassar, RM Angkasa Nikmat dan Depot Darisa Palu.

Dasar Pengkafiran Jamaah Al Yaklu Malang terhadap Orang Muslim di luar komunitas mereka.

Penuturan hasil pengalaman selama sekian tahun hidup dalam komunitas jamaah Takfir wal Hijrah Negara Islam Indonesia (NII) -Pemerintahan Islam Sejuta Wali (PISWA) dalam kedok Yayasan Perkumpulan Manunggal Bangsa (MABA) TK-SD Unggulan Al Yaklu International Outlook School Arjosari Malang.

Dikisahkan bahwa Al-Imam Abu Nashr al-Qusyairi, [dan Jumhur Ulama] berkata bahwa pendapat yang menyatakan orang yang tidak memakai hukum Allah maka ia telah menjadi kafir adalah pendapat kaum Khawarij. [Kelompok Khawarij terbagi kepada beberapa sub sekte. Salah satunya sekte bernama al-Baihasiyyah. Kelompok ini mengatakan bahwa siapa saja yang tidak memakai hukum Allah, walaupun dalam masalah kecil, maka ia telah menjadi kafir; keluar dari Islam].

Dalam kitab al-Mustadrak ‘Ala ash-Shahihain, al-Imam al-Hakim meriwayatkan dari sahabat Abdullah ibn Abbas dalam mengomentari tiga ayat dari surat al-Ma’idah (ayat 44, 45 dan 46) di atas, bahwa Abdullah ibn Abbas berkata: “Yang dimaksud kufur dalam ayat tersebut bukan seperti yang dipahami oleh mereka [kaum Khawarij], bukan kufur dalam pengertian keluar dari Islam. Tetapi firman Allah: “Fa Ula-ika Hum al-Kafirun” adalah dalam pengertian bahwa hal tersebut [tidak memakai hukum Allah] adalah merupakan dosa besar”. Artinya, bahwa dosa besar tersebut seperti dosa kufur dalam keburukan dan kekejiannya, namun demikian bukan berarti benar-benar dalam makna kufur keluar dari Islam.

Pemahaman semacam ini seperti sebuah hadits dari Rasulullah, bahwa ia bersabda:
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر (رواه أحمد)
(Mencaci-maki muslim adalah perbuatan fasik dan membunuhnya/ memeranginya adalah perbuatan “kufur”). HR. Ahmad.

“Kufur” yang dimaksud dalam hadits ini bukan pengertian keluar dari Islam. Bukan artinya; bila dua orang muslim saling bunuh, maka yang membunuhnya menjadi kafir. Bukankah ”hukum bunuh” itu sendiri salah satu yang disyari’atkan oleh Allah, misalkan terhadap para pelaku zina muhsan [yang telah memliki pasangan], hukum qishas; bunuh dengan bunuh, memerangi kaum bughat [orang-orang Islam yang memberontak], dan lain-lain. Apakah kemudian mereka yang memberlakukan hukum bunuh tersebut telah menjadi kafir??!! Tentu tidak, karena nyatanya jelas mereka sedang memberlakukan hukum Allah. Oleh karenanya peperangan sesama orang Islam sudah terjadi dari semenjak masa sahabat dahulu [lihat misalkan antara kelompok sahabat Ali ibn Abi Thalib, sebagai khalifah yang sah saat itu, dengan kelompok Mu’awiyah], dan kejadian semacam ini terus berlanjut hingga sekarang. Apakah kemudian orang-orang mukmin yang berperang atau saling bunuh sesama mereka tersebut menjadi kafir; keluar dari Islam??! Siapa yang berani mengkafirkan sahabat Ali ibn Abi Thalib, Ammar ibn Yasir, az-Zubair ibn al-Awwam, Thalhah ibn Ubadillah, Siti Aisyah [yang notabene Istri Rasulullah], dan para sahabat lainnya yang terlibat dalam perang tersebut??!! Orang yang berani mengkafirkan mereka maka dia sendiri yang kafir. Kemudian dari pada itu, dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا (الحجرات: 9)

Dalam ayat ini dengan sangat jelas disebutkan: “Apa bila ada dua kelompok mukmin saling membunuh….”. Artinya sangat jelas bahwa Allah tetap menyebut dua kelompok mukmin yang saling membunuh tersebut sebagai orang-orang mukmin; bukan orang kafir.

Yang ironis adalah ayat 44 QS. Al-Ma’idah ini -seperti yang saya alami dari pengajian internal (indoktrinasi) Al Yaklu Arjosari dan oleh beberapa komunitas yang mengaku gerakan keislaman seringkali dipakai untuk menuduh kafir terhadap sesama muslim / orang-orang yang tidak memakai hukum Allah, termasuk klaim kafir terhadap orang yang hidup dalam suatu negara yang tidak memakai hukum Islam. Bahkan mereka juga mengklaim bahwa negara tersebut sebagai Dar Harb atau Dar al Kufr. Klaim ini termasuk di antaranya mereka sematkan kepada negara Indonesia. pertanyaannya; negara manakah yang secara murni memberlakukan hukum Islam??

Sayyid Quthub dalam karyanya “Fi Zhilal al-Qur’an” menyatakan bahwa masa sekarang tidak ada lagi orang Islam yang hidup di dunia ini, karena tidak ada satupun negara yang memakai hukum Allah. Menurutnya suatu negara yang tidak memakai hukum Allah waluapun dalam masalah sepele maka pemerintahan negara tersebut dan rakyat yang ada di dalamnya adalah orang-orang kafir. Kondisi semacam ini menurutnya tak ubah seperti kehidupan masa jahiliyah dahulu sebelum kedatangan Islam. Pernyataan Sayyid Quthub ini banyak terulang dalam karyanya; Fi Zhilal al-Qur’an. Lihat misalkan j. 2, h. 590, dan h. 898/ j. 2, Juz 6, h. 898/ j. 2, h. 1057/ j. 2, h. 1077/ j. 2, h. 841/ j. 2, h. 972/ j. 2, h. 1018/ j. 4, h. 1945 dan dalam beberapa tempat lainnya. Juga ia sebutkan dalam karyanya yang lain, seperti Ma’alim Fi al-Thariq, h. 5-6/ h. 17-18

Terakhir, saya kutip tulisan A. Maftuh Abegebriel yang menyimpulkan bahwa kekeliruan dalam memahami QS. al-Ma’idah: 44 tersebut adalah salah satu akar teologis dan politis dari berkembangnya gerakan radikal di beberapa negara timur tengah, seperti gerakan Ikhwan al-Muslimin pasca kepempinan dan wafatnya Syaikh Hasan al-Banna (Rahimahullah). Padahal di negara Mesir, yang merupakan basis awal gerakan al-Ikhwan al-Muslimun, belakangan menolak keras kelompok yang dianggap ekstrim ini bahkan memenjarakan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Faham Sayyid Quthub di atas seringkali dijadikan “ajaran dasar” oleh banyak gerakan, seperti Syabab Muhammad, Jama’ah al-Takfir Wa al-Hijrah (seperti NII atau DI /TII/ PISWA Arjosari Malang), Jama’ah al-Jihad, al-Jama’ah al-Islamiyyah dan banyak lainnya. Muara semua gerakan tersebut adalah menggulingkan kekuasAan setempat dan mengklaim mereka sebagai orang-orang kafir dengan alasan tidak memakai hukum Islam. [Lebih luas tentang ini baca di antaranya; A. Maftuh Abegebriel, Fundamentalisme Islam; Akar teologis dan politis (Negara Tuhan; The Thematic Incyclopaedia), h. 459-555]. karenanya oleh beberapa kalangan, Sayyid Quthub dianggap sebagai orang yang menghidupkan kembali faham sekte al-Baihasiyyah di atas.
Sekali lagi, anda jangan memahami ayat di atas secara harfiyah. karena bila anda memahami secara harfiyah maka berarti sama saja anda menanamkan “akar terorisme” pada diri anda…!!! Hati-hati…!!!

Akhir-akhir ini marak perkembangan gerakan “keagamaan” yang disebut sebagai gerakan Salafi. Sering mereka mengklaim bahwa mereka hadir bermaksud menghidupkan kembali ajaran ulama salaf untuk menyelamatkan umat dari amukan dan badai fitnah yang melanda dunia Islam hari ini. Acapkali gerakan ini menegaskan bahwa kelompok yang selain mereka tidak ada jaminan memberikan alternatif (baca: keselamatan).Tidak jarang juga mereka mengklaim bahwa golongan yang selamat yang dinubuatkan oleh Nabi Saw adalah golongan mereka. Tentu saja, konsekuensi dari klaim ini adalah menafikan kelompok yang lain. Artinya bahwa kelompok mereka yang benar selainnya adalah sesat (itsbat asy-syai yunafi maa adahu). Kalau kita mau berkaca pada sejarah, gerakan Salafi ini sebenarnya bukan gerakan baru.

Mereka bermetamorfosis dari gerakan pemurnian ajaran Islam Wahabi yang dikerangka konsep pemikiranyna oleh Ibn Taimiyah yang kemudian dibesarkan oleh muridnya Muhammad bin Abdulwahab, menjadi gerakan Salafi. Metamorfosis ini jelas untuk memperkenalkan ajaran usang dengan pendekatan dan nama baru. Pertanyaan yang mendasar yang harus diajukan di sini adalah apakah Salafi itu identik dengan mazhab jumhur, Ahlusunnah? Kalau tidak identik, bagaimana pandangan Ahlusunnah terhadap kelompok Salafi ini (Wahabi)? Bagaimanakah sikap ulama Ahlsunnah terhadap kelompok ini, dan literatur-literatur tekstual apa saja yang telah ditulis oleh para ulama ahli sunnah untuk menjawab pemikiran Wahabi? Tulisan ringan ini berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan asumtif di atas. Kami persilahkan Anda untuk menyimak tulisan berikut ini yang merupakan hasil wawancara jurnal Kalam Islami dengan Ayatullah Ja'far Subhani.

Founding Father Wahabi

Wahabi adalah sebuah aliran pemikiran yang muncul pada awal abad ke-8 H. yang dicetuskan oleh Ahmad bin Taimiyah. Ia lahir pada tahun 661 HQ, 5 tahun setelah kejatuhan pemerintahan khilafah Abbasiyah di Baqdad. Pemikiran kontroversialnya yang ia lontarkan pertama kali pada tahun 698, pada masa mudanya dalam risalahnya yang bernama (Aqidah hamwiyah), sebagai jawaban atas pertanyaan masyarakat Hamat (Suriah) dalam menafsirkan ayat (Ar-rahman ala al-Arsy istawaa) artinya: “Tuhan yang Maha Pemurah, yang bersemayam di atas Arsy” dimana ia mengatakan bahwa; Allah Swt bersemayam di atas kursi di langit dan bersandar padanya.
Risalah tersebut dicetak dan disebarkan di Damaskus dan sekitarnya, yang menyebabkan para ulama Ahlusunnahdengan suara bulat melakukan kritikan dan kecaman terhadap pemikirannya, akan tetapi dengan berlalunya waktu, Ibn Taimiyah dengan pemikiran kontroversialnya malah semakin berani. Dengan alasan itulah, pada akhirnya di tahun 705 pengadilan menjatuhkan hukuman pengasingan ke Mesir. Kemudian pada tahun 712 Ia kembali lagi ke Syam. Di Syam Ibn Taimiyah kembali bergerilya melakukan penyebaran paham-paham kontroversial. Akhirnya pada tahun 721 dia dimasukkan ke dalam penjara dan pada tahun 728 meninggal di dalamnya.
Penyikapan dan tulisan-tulisan para ulama terkemuka Ahlusunnah pada waktu itu, merupakan sebuah bukti dalam catatan sejarah yang tidak akan pernah terhapus atas penolakan pemikiran Ahmad Ibn Taimiyah.
Ibn Batutah misalnya; yang terkenal sebagai seorang pengelana dalam catatan perjalanannya, atau masyhur dengan “peninggalan Ibn Batutah” menulis : Ketika saya di Damaskus, saya melihat Ibn Taimiyah berceramah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan, akan tetapi sangat disayangkan ceramahnya itu terkesan tidak memiliki sisi rasionalitas,[1] lanjut beliau: Ibn Taimiyah pada hari jumat di sebuah mesjid sedang memberi nasehat dan bimbingan kepada hadirin, dan saya turut hadir dalam acara tersebut, salah satu dari isi ceramah Ibn Taimiyah adalah sebgai berikut: “Allah SWT dari atas Arsy turun ke langit pertama, seperti saya turun dari mimbar, pernyataan tersebut dia lontarkan dan dengan segera dia pun satu tangga turun dari mimbarnya,” tiba-tiba seorang Faqih mazhab Maliki yang bernama Ibn Zuhra berdiri, dan menolak pandangan ibnu taimiyyah. para jemaah pendukung Ibn Taimiyah berdiri, dan mereka memukul faqih mazhab Maliki yang protes tersebut dan melemparinya dengan sepatu.[2]
Itulah salah satu contoh aqidah Ibn Taimiyah yang disaksikan secara langsung oleh Ibn batutah sebagai saksi yang netral dan tidak berpihak, dia mendengar dengan telinganya secara langsung dan melihat dengan mata kepalanya sendiri. Semoga Allah melindungi kita dari orang-orang yang menjelaskan aqidah dan makrifat Islam berdasarkan pemikiran tersebut.
Tak syak lagi bahwa Ibn Taimiyah dengan berbagai kelemahan yang dimiliki, tetap mmiliki sisi positif walaupun sangat terbatas (Tak ada keburukan mutlak di dunia). Dan yang disayangkan adalah para pengikutnya hanya melihat sisi positif Ibn Taimiyah saja, dan menolak serta menutup-nutupi sisi kelemahan dan negatifnya secara membabi buta. Bagaimanapun juga bagi para pemikir yang bebas dan merdeka yang lebih mencintai kebenaran hakiki daripada Plato akan melihat arah positif dan negatifnya dan mengkritisi pemikiran Ibnu Taimiyyah, orang-orang di bawah ini dapat dikategorikan sebagai para pakar dan akademisi Syam dan Mesir di zamannya, mereka mengatakan bahwa pemikiran Ibn Taimiyah telah merubah ajaran-ajran para nabi dan wali Allah. Dan ntuk menolak dan mengkritisi pemiiran ibn Taimiyyah mereka menulis buku sebagai berikut:
1.Syeikh Sofiyuddin Hindi Armawi (644-715Q)
2.Syeikh Syahabuddin bin Jahbal Kalabi Halabi (733)
3.Qadhi al-Qodhaat Kamaluddin Zamlakany (667-733)
4.Syamsuddin Muhammad bin Ahmad Dzahabi(748)
5.Sadruddin Marahhil ( wafat 750)
6.Ali bin Abd al Ka’fi Subki ( 756)
7.Muhammad bin Syakir Kutby (764)
8.Abu Muhammad Abdullah bin As’ad Yaafi’i (698-768)
9.Abu Bakar Hasni Dimasyqy (829)
10.Shahabuddin Ahmad bin Hajar ‘Asqalany (852)
11.Jamaluddin Yusuf bin Taqari Ataabaqi (812-874)
12.Shahabuddin bin Hajar Ha’itami (973)
13.Mulla Ali Qari Hanafi (1016)
14.Abul Ais Ahmad bin Muhammad Maknasi terkenal dengan Abul Qadhi’ (960-1025)
15.Yusuf bin Ismail bin Yusuf Nabhani(1265-1350)
16.Syeikh Muhammad Kausari Misry (1371)
17.Syeikh Salamah Qadha’i Azami (1379)
18.Syeikh Muhammad Abu Zahrah (1316-1396)[3]
Sebagian dari mereka menulis buku khusus untuk mengkritik pemikiran Ibn Taimiyah. Seperti Taqiyuddin Subki dalam kritiknya terhadap Ibn Taimiyah menulis dua buah kamib yang berjudul Syifau al siqomi fi ziarati khoirul anami dan Ad-Durrot al madiati fii radi ala Ibni taimiyah).
Kritikan yang terus menerus yang dilakukan oleh para cendekiawan muslim sunni terhadap Ibn Taimiyah menyebabkan doktrin-doktrin pemikirannya terkubur, dan dengan berlalunya zaman ajarannya perlahan-lahan terlupakan, aliran pemikiran ibn taimiyyah tidak ada yang tersisa kecuali dalam buku-buku yang ditulis oleh muridnya yang bernama Ibn Qayyum Jauzi (691-751), bahkan ibn Qayyum dalam kitab (Ar-Ruuh) menentang pandangan gurunya sendiri.

Muhammad bin Abdul Wahab Pelanjut Pemikiran Ibn Taimiyah di Abad 12

Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 di kota Uyinah bagian dari kota Najad. Semasa belajar di Madinah para gurunya merasa khawatir akan masa depan muridnya itu, karena terkadang pernyataan-pernyataan ekstrim dan keliru terucap dari lisannya, sampai-sampai mereka berkata, :“ jika Muhammad bin Abdul Wahab pergi bertabliqh, pasti ia akan menyesatkan sebagian masyarakat.”[4]
Selagi ayahnya masih hidup, Muhammad bin abdul Wahab adalah tipe seorang yang pendiam, tetapi setelah wafat ayahnya pada tahun 1153, tirai yang menghalangi keyakinannya terkuak.[5]
Dua aspek yang membantu penyebaran dakwah Muhammad bin Abdul Wahab ditengah-tengah masyarakat arab Baduy Najad yaitu:
1.Mendukung sistem politik keluarga Su’ud
2.Menjauhkan masyarakat Najad dari peradaban, ilmu pengetahuan dan keotentikan ajaran Islam.
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dengan slogannya pemurnian tauhid dan perlawanan kepada syirik secara pelan-pelan mengalami perkembangan bahkan berhasil menarik perhatian orang yang jauh dari najad seperti Amir Muhammad bin Ismail San’ani (1099-1186) penulis buku “Subulussalam” dalam syarahnya (Bulughul Marom) yang menerima dan mengikuti ajarannya, dan dalam sebuah qasidahnya berbunyi sebagai berikut:
Salam alaa najadi wa man halli fii najdi
Wa in kaana taslimi alal abdi laa yuzdii
(Salam bagi Najad dan siapa saja yang ada disana yang memiliki tempat,
Walau tak seberapa salam saya dari jarak jauh memberi kebaikan)
Akan tetapi ketika dia menyadari pembunuhan, perbuatan keji dan penyerangan terhadap kaum muslimin dilakukan oleh para pengikut Abdul Wahab yang diprakarsai oleh Muhammad bin Abdul Wahab sendiri. Penyesalan itu dia lontarkan kembali dalam alunan qasidahnya, berikut bunyinya:
Raja’tu anil qauli allazi qultu fi najdi
Wa qod shahha anhu. Khulafulladzi indi
Dalam perkataan lalu tentang lelaki itu (Muhammad Ibn Abdul Wahhab) saya tarik kembali, karena kesalahan sesuatu yang berkenaan dengan Ia telah diketahui dan sudah jelas bagi saya.
Setelah berkembangnya pemikiran Wahabi, orang pertama yang menolak terhadap paham wahabisme itu adalah saudaranya sendiri, yakni Sulaiman bin Abdul Wahab dalam buku (As-Sowaa’iqul illahiyyah). Setelah beliau, banyak para ulama dan tokoh-tokoh pemuka Ahlusunnahlainnya melontarkan kritikan terhadap pahamnya itu. Barangkali lebih dari 100 judul buku yang telah ditulis untuk menentang pemikiran abdul wahab tersebut, di antaranya:
1.      Abdullah bin Lathif Sya’fii penulis (Tajrid Syaiful al-jihad lil Mudda’i al–Ijtihad)
2.      Afifuddin Abdullah bin Dawud Hanbali penulis (As-sawa’iq wa al-Ruduud)
3.      Muhammad bin Abdurrahman bin Afalik Hanbali penulis (Tahkamu al-Muqalladin biman ad’i Tajdidi ad-Diin)
4.      Ahmad bin Ali bin Luqbaani Basri penulis risalah kritik atas keyakinan anaknya Abdul wahab.
5.      Syeikh Atho’ Allah Makki, penulis (Al-Aarimul al-Hindi fi Unuqil Najdi)
Para cendikiawan Ahlusunnah inilah yang telah menuliskan buku-buku dalam mengkritik dan menolak pemikiran Abdul wahab, dan dan selain mereka masih banyak yang menulis buku dann untuk selengkapnya silahkan anda merujuk buku Buhusul fi Milal wa Nihal ( juz 4, halaman 355-359).
Di kalangan syiah, yang pertama kali yang mengkritik pemikiran wahabi adalah faqih dan marja masyhur di dunia syiah; Almarhum ayyatulah Syeikh Ja’far Kasyif al-Qittho (1226), yang berjudul Minhajjul Rissyadi liman araadas-Sadad, beliau dengan bukunya tersebut telah menyingkap hakikat kebenaran, dan beliau mengirim buku tersebut ke Amir Sa’ud bin Abdul Aziz (pemimpin ta’ashub wahabi).
Cucu beliau, Almarhum Ayatullah Syeikh Muhammad Husein Ali Khasyif al Qitto, juga menulis sebuah buku yang berjudul ‘’Al-Aayat al-Bayyinat fi Qam’il Bidai wa Dzolalat) dengan pendekatan logika (akal) dan naql (wahyu), sebagai upaya kritikan dan perlawanan atas paham wahabi yang telah merusak dan menghancurkan makam suci para imam Ahlubait as di Madinah pada tahun 1344 HQ.
Sebuah buku yang paling masyhur dari ulama Syiah dalam mengkritik wahabi dengan pendekatan yang logis, buku berjudul ‘’Kasyful irtiyob an itba’ Muhammad bin Abdul Wahab), yang ditulis oleh Allamah Ayyatullah Sayyid Muhsin Amuli, buku ini, sangat bagus ditelaah dan akan membuka wacana pemikiran terutama bagi para peneliti.[6]

Pembaharuan Pemikiran dalam Aliran Wahabi


Paham wahabi dengan pondsai pemikiran Salafi menentang seluruh bentuk perubahan dalam kehidupan umat manusia. Ketika Abdul Aziz bin Abdurrahman pada tahun 1344 Q menjadi penguasa dua haram yang suci (mekkah al mukarramah dan madinah al munawwarah), terpaksa harus membangung dan mengatur system pemerintahannya sesuai dengan model pemerintahan pada umumnya ketika itu dan merubah pola kehidupan wahabi yang sesuai dengan kebiasaan arab Baduy-Najad. Dan ia menyetujui mengimpor produk teknologi modern ketika itu seperti telegraf, telephon, sepeda, mobil dan lain-lain. Dan sikapnya ini membakar api kemarahan para pengikutnya yang muta’shib, menyebabkan terjadinya kejadian tragedi berdarah yang terkenal dalam sejarah sebagai peristiwa “berdarah Akhwan”.
Ahmad Amin, penulis asal Mesir, ketika membahas tentang kelompok Wahabi, mengatakan bahwa pemikiran wahabi sekarang yang berkembang ini pada hakikatnya 100 persen bertolak belakang dengan pemikiran wahabi di masa lalu. Ahmad Amin menulis: “Wahabi menolak peradaban baru dan tuntutan peradaban baru dan modern, mayoritas di antara mereka meyakini bahwa hanya Negaranyalah sebagai negara islam sementara Negara-negara lain bukan Negara islam karena negara-negara tersebut telah menciptakan bid’ah bahkan menyebarluaskannya dan wajib bagi mereka memerangi Negara tersebut.
Semasa Ibn Sa’ud berkuasa, ia menghadapi dua kekuatan besar dan tidak jalan lain kecuali harus memilih salah satunya yaitu pertama, pemuka-pemuka agama yang tinggal di Najad memiliki akar pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab yang menolak dengan keras segala bentuk perubahan dan peradaban baru. Kedua; arus peradaban baru yang dalam system pemerintahn sangat membutuhakn alat tekhnoligi modern tersebut.
Pemerintahan, mengambil jalan tengah dari kedua kekuatan tersebut dengan cara mengakui Negara-negara islam yang lain sebagai negar Islam dan juga di samping menggiatkan pengajaran agama mereka juga memberikan pengajaran peradaban modern dan mengatur sistem pemerintahannya berdasarkan sistem pemerintahan modern. Untungnya para pemimpin Negara Saudi telah lelah melayani cara berpikir dan aturan-aturan kering dan kaku pemikiran wahabi yang menjauhkan kaum muslimin dari sunnah dan warisan sejarah yang diyakini seluruh kaum muslimin dan menghancurkan tampat-tempat suci mereka juga menafikan seluruh bentuk penemuan baru dan menganggapnya sebagai bidah. Dan dengan memperhatikan serangkaian peristiwa yang tidak dapat ditutup-tutupi lagi (seperti bertambahnya tekanan dan ancaman Amerika dan Israel terhadap Negara-negara Islam dan Negara-negara Arab setiap hari dan kehadiran dan peran aktif pemerintahan Republik Islam Iran dalam hidup berdampingan dan damai dengan Negara-negara tetangganya serta memimpin perlawanan terhadap hegemoni yahudi). Hal tersebut di atas menyebabkan secara perlahan-lahan pandangan negara Arab Saudi menjadi netral dan stabil terhadap negara Republik Islam Iran bahkan lebih dari itu mereka meninjau kembali ajaran-ajaran kering Wahabi serta pengkafiran kaum muslimin. tidak ada yang lebih indah yang dilakukan oleh Negara yang menjadi tuan rumah umat islam pada perhelatan akbar ibadah haji setiap tahun, kecuali menjadi negara netral dan meninjau kembali pandangan mereka selama ini.

Sejak aliran Wahabi yang fanatik muncul di Arab Saudi, dunia Islam menyaksikan berbagai peristiwa yang sangat pahit. Aliran menyimpang tersebut berkembang karena didanai oleh uang hasil penjualan minyak Arab Saudi dan dukungan dari para arogan Barat, di mana media-media Barat berupaya mengenalkan aliran Wahabi sebagai aliran yang mewakili dunia Islam.

Para pengikut aliran menyimpang ini juga menyandarkan semua perbuatan anti-kemanusiaan seperti aksi teror, pembunuhan dan perampasan kepada agama Islam. Padahal aksi-aksi itu dengan sendirinya telah mencoreng agama Islam. Hal baru dari kebusukan dan tidak mencerminkan ajaran Islam dari perilaku para pengikut Wahabi adalah fatwa Mufti Agung Arab Saudi, Abdul Aziz bin Abdullah al-Syeikh terkait minoritas Kristen, di mana fatwa tersebut menimbulkan berbagai masalah dan kecaman. Mufti ini tanpa melihat logika agama dan kemanusiaan mengeluarkan fatwa bahwa semua gereja di negara-negara Islam sekitar Teluk Persia harus dihancurkan. Statemen itu menimbulkan kemarahan dan kecaman dari para pendeta dan ulama Islam.

Hakikat Islam tidak lain adalah kecintaan dan saling mengasihi di antara manusia. Agama samawi ini adalah agama perdamaian dan persatuan, di mana salah satu ciri khusus Nabi Muhammad Saw dapat dilihat dari akhlak mulianya. Rasulullah Saw pembawa pesan rahmat dan melarang semua orang dari perbuatan keji dan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa serta sikap-sikap yang tidak baik. Beliau mengajak manusia untuk saling mengasihi dan berbuat baik antara satu dan lainnya.

Biografi Nabi Muhammad Saw adalah penjelas dari perilaku-perilaku beliau, terutama sikapnya kepada para pengikut agama lain, bahkan karena kemulian akhlak Nabi Muhammad Saw sebagian orang Kristen dan Yahudi memeluk Islam. Rasulullah Saw sangat memperhatikan hak-hak para pengikut agama samawi lain, seperti Kristen dan Yahudi. Beliau berpesan kepada umat agama-agama samawi untuk hidup bersama dan saling berinteraksi dengan kedamaian dan penuh kerukunan.

Islam adalah agama yang mengajarkan hidup berdampingan dengan damai, saling mengasihi, dan memberikan kebebasan terhadap keyakinan serta mengajarkan keadilan. Allah Swt dalam surat Ali-Imran ayat 64 berfirman, "Katakan, wahai Nabi, "Hai Ahl al-Kitab, mari kita berpegang kepada kalimah sawa' (titik temu) yang selalu kita ingat bersama-sama. Yaitu, bahwa masing-masing kita hanya menyembah kepada Allah, tidak mengakui adanya sekutu bagi-Nya, dan tidak tunduk dan taat kepada pihak lain demi menghalalkan atau mengharamkan sesuatu dengan meninggalkan hukum Allah yang telah ditetapkan....."

Ayat tersebut kepada semua yang bertauhid dari para ahli kitab mengatakan bahwa kalian semua memiliki kesamaan (titik temu) yaitu mengesakan Tuhan, oleh karena itu gandengkanlah tangan kalian dan hidupkanlah persamaan tersebut. sebenarnya, Islam tidak memaksa para pengikut agama samawi lain untuk memeluk Islam, namun menyebutkan bahwa tauhid sebagai titik temu yang penting di dalam agama-agama samawi. Islam tidak menilai menerima suatu agama harus dengan cara paksaan. Hal itu sebagaimana disebutkan dalam al-Quran Surat al-Baqarah ayat 256, "Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk suatu agama…". Tidak adanya paksaan dalam agama karena agama berakar dari satu mata rantai keyakinan hati yang tidak dapat dipaksakan. Paksaan hanya dapat berdampak pada fisik dan luarnya saja, namun tidak berdampak pada pemikiran dan keyakinan.

Wahabi tanpa memperhatikan ajaran-ajaran Islam yang benar berupaya merusak gereja dan melarang umat Kristen beribadah serta memaksa mereka menerima Islam. Langkah-langkah para pengikut Wahabi tersebut telah menyimpang dari ajaran Islam yang sesungguhnya.

Akibat fatwa-fatwa menyesatkan dan anti-kemanusiaan para ulama Wahabi, hingga kini telah menyebabkan pembunuhan terhadap orang-orang tak berdosa dan menimbulkan ketidakamanan di berbagai kawasan dunia. Di Arab Saudi yang merupakan pusat lahir dan berkembangnya aliran sesat ini, tidak diizinkan membangun tempat ibadah kecuali masjid. Bahkan umat Kristen tidak diperbolehkan mengadakan acara ritual umum di rumah-rumah mereka. Namun di negara-negara lain seperti Iran, Mesir, Suriah, Turki, Kuwait, Pakistan, Oman dan negara-negara lainnya terdapat gereja dan umat Kristen bebas melakukan ritual ibadah mereka.

Rezim Wahabi, Al Saud, sepanjang sejarah tanpa belas kasihan telah menumpahkan darah umat Islam. Oleh karena itu, sangat wajar jika rezim Al Saud bersikap keras memusuhi agama-agama samawi lain. Sejak awal munculnya aliran Wahabi, telah banyak masjid, tempat-tampat suci, bahkan pemakaman umat Islam telah dihancurkan mereka. Pemikiran kaku (jumud), fanatik dan ekstrim telah membentuk karakter aliran Wahabi sehingga memunculkan berbagai perilaku yang tidak rasional.

Umat Islam dengan mengikuti petunjuk al-Quran dan menapak jejak dari perilaku Nabi Muhammad Saw dan Ahlul Baitnya selalu bersikap baik terhadap para pengikut agama samawi lain. Ulama dunia Islam sejak lebih dari 1400 tahun lalu tidak pernah membatasi para pengikut agama lain dalam menjalankan aktivitas keagamaannya. Mereka selalu berdialog dan bertukar pendapat dengan para pengikut agama lain, bahkan dengan argumentasi dan logika yang benar menunjukkan keyakinan mereka yang telah menyimpang. Namun sayangnya, para mufti Wahabi justru membatasi para pengukut agama lain untuk menjalankan aktivitas keagamaannya.

Fatwa baru Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah al-Syeikh terkait penghancuran gereja di semua negara semenanjung Arab telah menyulut protes umat Kristen dan ulama Islam. Hingga kini, para pendeta dari berbagai penjuru dunia dan ulama Islam khususnya di Iran telah mereaksi keras fatwa ekstrim tersebut.

Fatwa terbaru Mufti Agung Sheikh Abdulaziz bin Abdullah dikeluarkan sebagai respon terhadap keputusan parlemen Kuwait beberapa waktu lalu, yang melarang pembangunan gereja-gereja baru di negara itu. "Mengingat negara Teluk Persia kecil dan merupakan bagian dari Semenanjung Arab, maka perlu untuk menghancurkan semua gereja-gereja di wilayah itu," kata Sheikh Abdulaziz seperti dilaporkan media Arab.

Dewan Ahlul Bait Sedunia dalam sebuah pernyataan pada Selasa (27/3) mengatakan, "Pertama-tama, Mufti Wahabi tidak mewakili Islam. Dunia harus tahu bahwa agama yang sekarang sedang dipublikasikan di Arab Saudi, bukan Islam yang sesungguhnya." Pernyataan itu menambahkan bahwa isi fatwa baru tersebut bertentangan dengan perintah Allah Swt serta sunnah Nabi Muhammad Saw dan keturunannya. Oleh karena itu, ditolak tidak hanya oleh komunitas Syiah, tetapi juga oleh Muslim Sunni.

Dewan itu mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, Islam telah hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Yahudi dan fatwa seperti itu tidak pernah dikeluarkan oleh Rasul Saw, keturunannya, dan khalifah Islam selanjutnya. Dewan Ahlul Bait Sedunia menyatakan, "Selain Rasul Saw, keturunannya, dan para sahabat, juga tidak ada ulama yang pernah mengeluarkan fatwa seperti itu selama 1.400 tahun terakhir, karena itu, Mufti Agung Wahabi telah mengeluarkan fatwa di luar kerangka yurisprudensi Islam dan belum pernah dikeluarkan oleh pusat-pusat ilmiah besar umat Islam,"

Menurut Dewan Ahlul Bait Sedunia, fatwa tersebut juga merupakan intervensi terang-terangan dalam urusan internal negara-negara Muslim lainnya, karena Mufti Saudi mengeluarkan fatwa tidak hanya terbatas untuk wilayah Saudi, tetapi sudah termasuk Semenanjung Arab secara keseluruhan. Dewan Ahlul Bait Sedunia juga mengecam sikap bungkam para cendekiawan Muslim dalam menanggapi fatwa yang merusak citra Islam itu. Di akhir pernyataannya, Dewan Ahlul Bait Sedunia mengkritik organisasi internasional hak asasi manusia serta pemerintah Barat dan Kristen atas dukungan mereka terhadap radikalisme kelompok Wahabi.

Sementara itu, pendeta-pendeta Katolik di Jerman dan Austria telah mengeluarkan statemen terpisah mengecam fatwa Sheikh Abdul Aziz bin Abdullah dan menilainya sebagai pengingkaran terhadap hak-hak jutaan orang dari para pegawai asing Kristen di semenanjung Arab.

Pendeta Robert Zollitsch, Direktur Kongres Pendeta Jerman mengatakan, Mufti Saudi tidak menghormati kebebasan agama dan hidup berdampingan dengan pengikut agama lain. Dia menilai bahwa penghancuran gereja adalah pukulan terhadap para pegawai asing yang berada di negara-negara Arab. Sebab, sekitar 3,5 juta umat Kristen berada di negara-negara Arab sekitar Teluk Persia, di mana mayoritas mereka berasal dari India dan Filipina. Jumlah yang banyak juga berasal dari negara-negara Eropa dan Amerika. Di Moskow, pendeta Mark kepada kantor berita Interfax mengatakan, diharapkan negara-negara tetangga Arab Saudi tidak menanggapi fatwa tersebut.

Sementara itu, fatwa mufti Wahabi Saudi juga mendapat kecaman dari berbagai pihak di Mesir. Doktor Ahmad Karimah, dosen Syariah Islam di Universitas al-Azhar, Mesir menolak fatwa mufti Saudi dengan menyinggung Surat al-Hajj ayat 40 yang berbunyi, ".....Seandainya Allah tidak memberikan kepada kebenaran pembela-pembela yang akan selalu mempertahankan dan melindunginya dari kesewenang-wenangan orang-orang zalim, niscaya kebatilan akan menyebar dan tiran- tiran akan semakin leluasa dalam kesemena-menaan mereka. Dan jika keadaannya terus begitu, para tiran itu akan berhasil membungkam suara kebenaran, merusak gereja, biara, sinagog dan masjid yang merupakan tempat-tempat yang banyak dipakai untuk menyebut nama Allah....." Dengan mengutip penggalan ayat tersebut, dia menilai penghancuran gereja bertentangan dengan Islam.

Guru besar al-Azhar itu mengatakan, sebagian penduduk negara-negara Arab beragama Kristen, bagaimana mungkin mereka tidak diizinkan memiliki tempat ibadah. Dia menandaskan, lebih baik mufti Saudi mengeluarkan fatwa diharamkannya agresi Amerika Serikat di tanah-tanah umat Islam daripada mengeluarkan fatwa penghancuran gereja.

(kompilasi dari berbagai sumber)

No comments:

Post a Comment